Kamis, 23 Okt 2025
  • website resmi sekolah SMP Negeri 1 Nabire

Cerpen ‘Tak Tunduk Akan Siapa Dirinya’ oleh Rachel Rose Maryam

Cerpen 'Tak Tunduk Akan Siapa Dirinya' oleh Rachel Rose Maryam

Tak Tunduk Akan Siapa Dirinya

Karya: Rachel Rose Maryam

Jemie atau biasa dipanggil Jem adalah anak lelaki dari Papua yang pindah ke Jakarta karena ikut ayahnya yang berpindah tugas di Jakarta, dia adalah anak tunggal dan ibunya telah meninggal. Anak laki-laki berusia 13 tahun yang berkulit gelap itu kini duduk disisi bus dengan gembira menyertai dirinya.

Sepanjang perjalanan ditemani dengan modern-nya gedung-gedung pencakar langit, padatnya lalu lintas (yang menjadi alasan utama Jem memilih menaiki bus di waktu yang lebih cepat) dan jalan layang yang dari kemarin membuatnya takjub, kini dikalahkan dengan pikirannya yang sibuk memikirkan akan seperti apa sekolah barunya nanti.

Setelah menempu waktu ±20 menit, akhirnya bus yang dinaiki Jem berhenti di halte depan sekolah. Jem turun dari bus yang dinaikinya. Semangat mendorong melangkah ke sekolah elit didepannya. Hari ini merupakan hari pertama Jem masuk sekolah barunya ini dan dia tak sabar menceritakan sekolah ini kepada keluarga dan teman-temannya yang berada jauh di Papua sana—tepatnya di Nabire.

Memasuki area sekolah, Jem menemukan danau yang cukup besar, taman yang dipenuhi dengan berbagai macam corak warna, beberapa siswa berseragam putih biru terlihat sedang duduk sambil membaca buku atau bergurau bersama temannya dibangku-bangku yang tersedia, dan ketika ia berjalan mendekati bangunan sekolah yang megah dan bertingkat itu, dia dibuat takjub dengan dua kolam air mancur yang terletak menempel disisi kanan dan kiri dinding bangunan. Nama sekolah terpampang jelas di dinding kanan air mancur: SMP NABASTALA JAKARTA. Sedangkan beberapa siswa-siswi yang melewatinya turut memandangnya sesekali dengan tatapan kebingungan dan tertawaan, apa artinya?

Jem sudah pernah diceritakan bahwa orang berkulit putih di kota-kota besar ini memang jarang melihat orang berkulit hitam, jadi Jem masih memaklumi mereka yang mencuri-curi pandang kepadanya. Jem juga mengingat bahwa ayahnya mengatakan kalau orang yang berbeda dengan mereka bisa saja sangat sensitif terhadapnya.

Jem memang kurang mendengar hal-hal terkait Sekolah Nabastala selain prestasi siswa disini dan bagusnya fasilitas. Jem betul-betul kaget ayahnya bisa menyekolahkannya disini, mengingat sekolah Nabastala adalah salah satu sekolah teratas di kota ini. Jem merasa bahwa
teman-temannya akan menghargainya, ya jika tidak maka mungkin takut kepadanya pun tak apa. Yang terpenting adalah agar tak ada yang mengganggunya.

Jem bertemu dengan seorang guru pria ketika memasuki bangunan. “Selamat pagi, Pak!” sapa Jem ceria. Guru itu tersenyum ramah, “Kamu Jemie, kan?” tanyanya. Jem mengangguk, “Iy-iya! Saya anak baru disini Pak.” Jawab Jem, cukup hati-hati dengan ucapannya untuk beradaptasi.

Guru itu membimbing Jem ke ruang guru. Beberapa hal harus diurus sebelum Jem bisa mulai mengikuti kegiatan di sekolah ini. Tak lama kemudian setelah bel masuk berbunyi, Jem mengikuti guru itu ke sebuah kelas di lantai ke dua.

Keadaan lorong sekolah sudah sepi dengan suara-suara disetiap kelas dan dari jendela kaca yang menghiasi hampir seluruh dinding gedung yang menghadap keluar, Jem dapat melihat area sekolah bagian dalam yang lebih besar lagi dengan lapangan besar yang tidak pernah ia ketahui bahwa sebuah sekolah memiliki lapangan seluas itu. Ada lapangan yang diisi siswa-siswi bermain bulu tangkis dan lainnya bermain basket serta ada juga beberapa anak yang tampak melakukan pengamatan terhadap tumbuhan-tumbuhan yang ditanam di area sisi sekolah.

Mereka berhenti didepan sebuah kelas. Jem melihat ke papan diatas pintunya bertuliskan KELAS 8B (GRADE 8B). Guru pria itu berbicara kepada seorang guru wanita yang lebih tinggi dari Pak guru itu sendiri, Pak guru memanggil Jem dengan melambaikan tangan dan Jem pun menghela nafasnya serta meluruskan posisi tubuhnya lalu masuk ke kelas dengan senyum manis.

Jem tersenyum dan sedikit menunduk ke guru wanita tersebut, guru tersebut membalas juga dengan senyuman. “Jem, inilah kelas kamu. Bapak harus pergi dulu, semoga kamu dapat menjalankan aktivitas kamu sebagai pelajar disini dengan baik.” kata Pak guru itu sebelum meninggalkan Jem. “Baik, Pak, terimakasih”

“Anak-anak, Jem adalah teman baru kalian yang datang jauh dari Papua, Jem perkenalkan dirimu” kata Guru wanita itu. Jem melihat ke teman-temannya, mereka semua berkulit putih, ekspresi mereka yang ditangkap oleh Jem adalah beberapa tampak senang dengan senyum mereka, beberapa memiliki ekspresi datar dan ada juga yang bingung.

“Halo teman-teman, nama saya Jemie, kalian bisa panggil saya Jem. Saya dari Papua, tepatnya Nabire. Saya pindah disini mengikuti ayah saya. Semoga kita bisa berteman dengan baik, mohon bantuannya.” ucapnya. Siswa dikelas kembali menyapa Jem. Beberapa
pertanyaan diajukan kepada Jem. Kebanyakan dari mereka bertanya tentang tempat tinggal Jem di Papua.
“Disana ada mall?” dan Jem menjawab “Tidak, mungkin dibeberapa kota besar di Papua seperti Jayapura memang ada. Tapi di kota saya tidak ada mall.” Jawabnya.

Lalu ada yang bertanya apakah Jem pernah melihat burung cendrawasih? Jem menjawab dengan semangat bahwa ia pernah melihat burung surga itu, yang menurutnya merupakan burung paling indah yang pernah ia lihat. Ada apa saja di tempat tinggalmu? (nabire) dan Jem menjawab bahwa walau Nabire bukan kota yang besar dengan gedung-gedung tinggi seperti Jakarta, tapi Jem bisa memastikan kalau banyak wisata alam di Nabire yang bisa dinikmati, yang mungkin lebih banyak daripada yang ada di Jakarta. Itu salah satu hal yang dirindukan Jem tentang rumahnya. Ada yang bertanya tentang sekolah disana. Jem menjawab bahwa walau sekolah disana sederhana-sederhana saja, tapi Jem merasa sekolahnya sama saja dengan sekolah di tempat-tempat lain; penuh dengan persahabatan dan pendidikan yang berkualitas.

Disaat-saat perkenalan, semua berjalan dengan cukup baik. Situasi tidak menjadi canggung karena kesopanan dan semangat Jem. Teman-teman baru Jem memberi perhatian kepada Jem, walaupun beberapa masih menjauhinya karena tak biasa.

Ketika Jem bingung hendak berbicara untuk meminta menunjukkan dimana kantin agar ia dapat membeli makan, tiga siswa yang tempat duduknya berada di samping kanan dan kiri serta dibelakangnya mengajukan diri mereka untuk menemaninya. Mereka adalah Gabriel yang merupakan orang asli kota ini dan merupakan orang paling tampan diantara mereka, Mahesa siswa yang paling pintar diantara mereka dan Aqilla yang juga siswi dari kota ini dan walaupun badan Aqilla yang kecil, Jem dikejutkan ketika tau bahwa Aqilla merupakan atlet top sekolah ini yang telah membawa pulang puluhan medali. Jem diajak keliling sekolah oleh mereka setelah menemani Jem dikantin.

“Bagaimana? Sudah ingat semua tempat?” tanya Gabriel ketika mereka telah menyelesaikan tour-nya. Jem menggaruk kepalanya yang tak gatal dan tersenyum canggung, “Walaupun susah, pelan-pelan akan saya ingat.” jawabnya tertawa. Mereka duduk di salah satu gazebo yang terletak di pinggiran danau.

“Baguslah,” kata Mahesa. “Oh iya, Jem. Kenapa kamu sekolah disini?” tanya Aqilla sembari menikmati manisnya gula-gula yang ia makan. “Sa—saya sekolah disini karena bapak saya yang pindah tugas disini. Bapak bilang sekolah ini, sekolah yang paling bagus buat saya.. ya faktor utamanya tak lain karna ini sekolah yang paling dekat dengan tempat tinggal saya” Ujar Jem jujur. “Lalu ibu dan saudara-saudaramu juga ikut?”

“Tidak.. mama sudah meninggal 3 tahun lalu, saya tidak punya saudara. S-saya cuman punya ayah.”

Aqilla, Gabriel dan Mahesa menatap satu sama lain dengan ekspresi bersalah dan kasihan. “Maaf Jem.. kami tidak tau tentang itu.” Ucap mereka. Namun tentu saja Jem tak membiarkan situasi menjadi benar-benar sedih dan dia dikasihani, dia lantas berdiri dan mengajak temannya untuk kembali ke kelas.

“Jem,” panggil Aqilla yang mendekatinya bersama dengan Mahesa dan Gabriel disaat perjalan menuju keluar sekolah saat pulang. Jem berbalik. “Ya?”

“Kalau kamu lebih nyaman pakai bahasa kamu, tidak apa-apa kok. Kamu bisa pakai bahasa kamu kok, tak ada yang melarang” ujar Aqilla. “Terimakasih teman-teman.” Ujar Jem kepada Mahesa, Aqilla dan Gabriel.

Hari pertama Jem baik-baik saja, malah menurutnya sangat baik karena ketiga temannya itu. Dia pulang kerumah dijemput oleh ayahnya. Mereka melewati macetnya jalanan Jakarta dan akhirnya karena terlalu lama dijalan memilih untuk singgah di McDonald’s. Disana, Jem menceritakan sebagus apa sekolah itu dan turut menceritakan teman-teman dekat barunya; Gabriel, Mahesa dan Aqilla. Ayah Jem turut senang dengan kisah Jem, dia bersyukur Jem sudah memiliki teman-teman. Ayahnya harap Jem dapat menjadi anak yang lebih baik lagi disekolah ini serta dapat beradaptasi dengan baik.

Beberapa hari setelah kedatangannya, Jem semakin dikenal karena merupakan satu-satunya siswa berkulit gelap dan merupakan orang Papua pertama disekolah itu. Banyak yang bertanya-tanya kepadanya tentang Papua tapi ya, ada juga yang berkelakuan buruk kepadanya dan mereka menyangkalnya dengan kata “iseng”. Tak terkecuali Devon dan teman-temannya, Devon adalah laki-laki kaya raya dan paling tampan disekolah ini namun sayangnya dia nakal. Suatu hari, Jem yang bermain bola dijam olahraga, tak sengaja menendang bola hingga mengenai lengan Devon. Devon pun marah dan membuat pertengkaran dengan Jem walau Jem telah meminta maaf, namun Devon tetap marah dan tak suka dengan Jem. Beberapa kali setelah itupun, Devon suka mengerjai Jem dan mengejek Jem seperti mengulangi apa yang dikatakan Jem dengan logat Papua Jem yang kental, walaupun begitu Jem berusaha untuk tidak memedulikannya.

Dua bulan terlewat dengan bermacam kisah dan kedekatan Jem dan tiga temannya yang semakin erat. Seluruh siswa di kelasnya tak menjauhinya walau masih ada sebagian disekolah yang menjauhi dan membicarakan Jem. Namun, Jem beranggapan bahwa apa yang dikatakan dan dipikirkan mereka tentu tak benar.

Jem memang tak terlalu pintar dalam nilai akademis namun dia tau guru-guru cukup menyukainya karena dia selalu muncul dalam pikiran yang positif, berani, dan kepribadian yang sopan. Dia senang Gabriel, Mahesa dan Aqilla selalu mendorong Jem untuk tak peduli akan pandangan ‘aneh’ orang lain tentangnya. “Jangan pedulikan mereka yang tidak tau siapa kamu Jem, tak ada gunanya” ucap Mahesa.

“Sebagian anak-anak disini memiliki harga diri yang sangat tinggi karena mereka pikir bahwa mereka sangat kaya, ada juga yang sangat lebay” Kata Aqilla

“Apalagi para kaum betina, lebaynya minta ampun” Ucap Gabriel membuat Aqilla menaikkan tangannya hendak memukul Gabriel dengan tatapan tajamnya.

“Sebagian maksudnyaa, jangan merasa ya Aqilles” timpal Gabriel lagi.

“Aqilles?” tanya Jem. “Tak usah dipikirkan Jem!” tegas Aqilla kesal. Mahesa dan Gabriel tertawa. Aqilles adalah panggilan untuk Aqilla, kecil namun kuat.

“Gabriel tuh penemu nama itu. Soalnya mirip-mirip sama nama pahlawan dari mitologi yunani; Achiless. Cicitnya ya Aqilles pasti!” ujar Mahesa tertawa sedangkan Aqilla kesal namun akhirnya hanya bisa pasrah akan kelakuan teman-temannya itu.

Suatu hari seluruh siswa dikumpulkan dilapangan utama. Terlihat Ibu Kepala Sekolah yang telah berdiri didepan seluruh siswa dengan mic ditangannya, bersiap memberi informasi kepada seluruh murid sekolah.

“Selamat pagi! Anak-anak sekalian, semoga kabar kalian baik-baik saja di pagi ini.” Ujarnya dengan tatapan ramahnya. “Dengan mendatangnya kelulusan kelas 9, maka untuk itu dibutuhkan para OSIS baru.” Ya, OSIS yang sekarang memang kebanyakan dari kelas 9 maka harus diganti dengan adik kelasnya.

Jem melihat ekspresi ketiga temannya yang terlihat senang akan hal yang baru saja disampaikan Ibu Kepala Sekolah mereka. Bahkan Aqilla melompat kegirangan dan mendorong pelan Mahesa. Sebelum Jem bisa bertanya kepada teman-temannya, Kepala Sekolah melanjutkan. “Jadi mulai minggu depan, kalian yang ingin mencalonkan diri menjadi anggota inti bisa mendaftar ke dua guru pengurus. Mulai sekarang juga, kalian dapat memikirkan dan membuat visi dan misi kalian, serta tak lupa memilih pasangan. Itu saja yang saya ingin sampaikan. Terimakasih atas perhatiannya, silakan kembali beraktivitas.” Tutupnya.

“Kam1 kenapa senang sekali?” tanya Jem. “JEM! Dari tahun lalu kita sudah menunggu kesempatan ini! Soalnya Mahesa dari dulu mau menjadi ketua OSIS!” ujar Aqilla. Jem mengangguk, “Owhh…, bagus to artinya!”

“Jem, kamu juga harus ikut!” Ajak Gabriel. “Sa?”2 Jem menunjuk dirinya sendiri dengan bingung, “Ikut jadi OSIS?”

“Yup!” sahut Gabriel. Jem melihat Mahesa dan Aqilla yang juga mengangguk senang. Jem tidak ada rencana untuk menjadi OSIS, paling-paling, dia hanya ingin masuk ekstrakulikuler Pramuka karena itu dirasanya paling cocok.

“Tidak, sa tra3 punya niat menjadi OSIS. Maaf teman-teman.” Ujar Jem dengan jujur. “Ayolah Jem, kau itu bagus sekali jika memimpin! Kami pastinya mendukungmu!” ujar Mahesa.

Jem tertawa, “Haha, pasti tra ada yang mendukung, Hesa, Lagi pula, sa masih baru disini dan sa tra punya pengalaman jadi pemimpin. Paling-paling hanya jadi wakil kelas pas SD dulu.” Jawab Jem. “Kalau begitu kamu harus mencoba Jem. Biar ada pengalaman, aku yakin deh kalau kamu pasti bisa jadi pemimpin yang baik.” Ujar Aqilla, disetujui dengan Gabriel yang memberi jempol kepada Jem.

Walau tadi mengatakan bahwa ia tak ingin dan memang berpikir bahwa mustahil baginya akan dipilih menjadi OSIS, Jem tetaplah Jem yang sebenarnya ingin selalu mencoba sesuatu yang baru walau selalu ia pendam. Apalagi dia sekarang bukan berada di wilayah asalnya, pasti akan lebih susah. Jem telah melihat banyak sekali siswa-siswi yang berprestasi, jenius dan berani disini. Jem pikir kemungkinan besar mereka akan mencalonkan diri menjadi anggota OSIS bahkan ketua atau wakil OSIS. Dengan otak mereka yang encer, memikirkan visi dan misi yang brilian dan tampil menjadi pemimpin pastilah hal yang cukup biasa bagi mereka.

Pikiran Jem dibuyarkan oleh suara Aqilla yang mengajak mereka pergi lebih cepat dari lapangan. “Ayo ke kantin! Aku lapar sekali ni!” lalu dia berlari dan diikuti dengan Jem, Mahesa dan Gabriel. Tak dimungkiri kalau lari Aqilla sangat cepat bahkan Jem tidak melihat anak itu ditengah jalan, seperti menghilang ditelan bumi saja.
1 Kalian
2 Saya
3 Tidak

Setelah mereka selesai memesan makanan dan makanan itu telah sampai dimeja mereka. Mereka memakannya dan Mahesa memulai berdiskusi dengan siapa dia akan berpasangan. Jem cukup kaget bahwa Mahesa belum memilih pasangan.
“Gabriel? Kau mau jadi pasanganku?” tanya Mahesa.

Gabriel sibuk melahap bakso yang telah dipesannya, Gabriek menolak dengan mengatakan ‘tidak’ walau yang teman-temannya dengar Gabriel mengatakan “Twidwak.” Setelah dia selesai menelannya Gabriel meminta maaf kepada Mahesa karena tidak bisa menjadi pasangannya nanti. “Maaf Hes, aku udah ada banyak ekstrakulikuler dan les yang aku ikuti. Di paksa orang tua si. Jadi aku sangat sibuk, kepalaku bisa sangat panas kalau aku ikut menjadi OSIS. Maaf sekali ya Hes.”

Mahesa memaksakan senyumnya lalu melihat ke Aqilla setelah memandangi baksonya. “Kalau kau Aqilla?”

Aqilla meminum tiga teguk air dinginnya sebelum mengatakan: “Maaf ya Mahesa.. ma-aaaff sekali, akhir-akhir ini aku juga sibuk karena ada perlombaan yang harus kupersiapkan.” Mereka semua baru sadar bahwa Aqilla telah dipilih untuk mengikuti lomba lari cepat akhir bulan ini dan bulu tangkis bulan depan. Sungguh multitalenta.

Mahesa melihat ke Jem dengan penuh harap. “Jem?”
Jem diam sebentar. “Bukannya ko banyak kenalan sama siswa-siswi lain yang juga pintar-pintar to? Pasti banyak yang mau!” timpal Jem.

Mahesa melonggarkan posisi duduknya, menatap tangannya yang memegang sendok sedang memainkan isi mangkok baksonya itu dengan mengaduknya pelan secara berulang-ulang. “Susah Jem… Mereka tidak mau jadi wakil atau ketua OSIS, palingan sebagai bendahara atau sekretaris. Yang pintar-pintar juga kebanyakan tidak mau ikut. Hampir setiap bulan siswa-siswi disini dikirim untuk mengikuti lomba-lomba, mereka sangat sibuk.”

“Empat bulan lalu sebenarnya sudah ada siswa yang mau jadi pasangan Mahesa. Sayangnya, sehari sebelum kamu masuk Jem, dia pindah karena keluarganya pindah ke luar negeri.” Ujar Gabriel.

“Mahesa, yang lain betul-betul tak ada yang mau?? Ko kan pintar, pasti menanglah siapapun wakilnya.” Kata Jem lalu memutarkan kedua matanya ke sekelilingnya, berusaha mencari siswa-siswi yang ia kenal pintar dan berprestasi untuk ditawarkan menjadi pilihan Mahesa.

Mata Jem memandang ke arah kanan, kawasan yang lebih banyak siswa perempuannya. Dia menunjuk sementara ke seorang siswi kelas 8E yang ia ketahui merupakan bintang sekolah
karena merupakan anak kaya raya dan walaupun dia bukan peringkat top 3, dia masih terbilang memiliki efek yang kuat. Dia menawarkan siswi tersebut ke Mahesa namun ditolak mentah-mentah karena siswi tersebut merupakan perempuan yang pernah menolak Mahesa saat kelas 7, jadi pasti tidak cocok!

“Oh ya lupa, satu kabar baru dari pembawa rumor dari kelas sebelah; Devon mencalonkan diri menjadi ketua OSIS!” Ujar Gabriel setelah bersendawa menandakan habisnya makanan yang telah ia nikmati. Jem cukup kaget, Devon? Oh tidak, ini tidak akan baik. Devon adalah pembully-nya disekolah ini dan sekarang orang itu ingin menjadi ketua OSIS?

“Riel, Riel… selalu update lah terus” tawa Aqilla, humornya yang bersamaan dengan dirinya yang cukup kaget akan hal yang barusan dikatakan Gabriel, aneh juga kan. Devon.

Mahesa menatap Gabriel dengan ekspresi serius. “Betul itu Gabriel? Aku yakin dia tidak akan serius mengemban tugasnya.” Ujar Mahesa yang dibalas anggukan dan naiknya bahu Gabriel. Jem dapat melihat jelas bahwa Mahesa memang serius dengan hal ini, dia sepertinya begitu sayang dengan sekolahnya.

“Tra kan ada yang pilih dia, Devon tu nakal, semua orang tau to?” tanya Jem.
Ketiga temannya berpikir sendiri sebelum menjawab. “Kalau dipikir-pikir, Devon itu banyak sekali pendukungnya. Hampir sebagian besar siswa laki-laki disini adalah teman Devon. Yang perempuan? Penggemar dari Devon!” timpal Aqilla.

“Kau juga Aqilla?” ucap Gabriel. “Ya tidaklah!” balas Aqilla marah dan mukanya memerah. Aqilla dan Devon adalah teman dari kecil, mereka dari TK sampai SMP pasti sekolahnya sama. Aqilla pernah menyukai Devon sebelumnya, namun dia memilih berhenti menyukai Devon karena dari hari ke hari, Devon semakin nakal setelah orang tuanya bercerai.

“Ya siapa tau mereka punya pemikiran beda dari yang kita tau. Siapa tau nanti mereka tra pilih Devon karna mereka sadar de4 tu nakal.” Ujar Jem, mencoba menghilangkan pikiran negatif menjalari mereka, terutama Mahesa yang saat ini sedang dilanda kebingungan. Jujur, Jem semakin kasihan kepada Mahesa setelah kabar tentang Devon dan hatinya mungkin tersentuh walaupun sedikit untuk mencoba menjadi pasangan Mahesa.

Jem kembali memutarkan pandangannya kesegala sudut. “Bagaimana kalau yang itu tu?” tunjuk Jem ke salah satu siswa laki-laki kelas 7 yang duduk sendirian dipojok sedang menyantap nasi goreng spesial dari kantin sekolah. Jem kembali mengusulkan siswa yang dikenal jenius itu kepada Mahesa. Mahesa akhirnya mencoba dengan berbicara sebentar kepada anak itu.
4 Dia

Jem, Aqilla dan Gabriel melihat teman mereka, Mahesa, berbincang-bincang dengan adik kelas itu. Mahesa penuh dengan keramahan dan senyumnya berbicara kepada adik kelas itu, walaupun dia sepertinya berbicara sedikit dan memilih memandangi makanannya daripada Mahesa. “Anak itu aneh juga ya,” kata Aqilla disetujui dengan anggukan Jem dan Gabriel.

Jem memiliki prasangka buruk bahwa Mahesa ditolak karena ketika Mahesa selesai berbicara, dia bangkit dari tempat duduknya dengan tarikan napas yang berat. Namun dia kembali berpikir positif; mungkin adik kelas mereka itu sedang mempertimbangkan—yang mana adalah hal yang lebih baik daripada langsung ditolak, atau mungkin Mahesa sedang ingin mem-prank ketiga temannya itu.
Mahesa berjalan mendekati mereka kembali lalu duduk. “Tidak bisa… dia tidak ada niatan.” ucap Mahesa pasrah.
Perkataan Mahesa membuat teman-temannya ikut sedih. “Siapa ya yang mau? Masa sih tak ada yang bisa? Jem? Kau betul-betul tak bisa?” tanya Aqilla.

Jem melihat sekilas ke Mahesa. Temannya yang malang, Jem tak percaya bahwa tak ada yang ingin berpasangan dengan murid pintar seperti Mahesa. Kemana perginya keberanian siswa-siswi lain? Jem bertanya-tanya sendiri, memangnya dia cocok menjadi wakil Mahesa nantinya? Akankah mereka terpilih? Bagaimana jika Mahesa tidak terpilih karena Jem? Jem menggeleng kepalanya sedikit, pikiran negatif yang harus dijauhkan.

Jem menaikkan bahunya, “Sa juga tra tau. Sa pikir-pikir dulu..” ujarnya dengan logat Papuanya. Paling tidak, perkataannya masih bisa sedikit menaikkan suasana hati teman-temannya.
“Yey!” sahut Aqilla.
“Jem, kau harus tahu, kau itu tidak perlu meragukan kemampuan dirimu sendiri. Aku yakin kamu sadar kalau kamu punya jiwa pemimpin yang positif. Bahkan jika ku amati setelah kita bersama-sama beberapa bulan ini, kaulah yang paling positif pikirannya dan kau juga sangat baik!” ucap Mahesa.

Matahari sekarang telah merangkak keujung dunia, berusaha bersembunyi dari langit Jakarta. Masih dengan kondisi yang sama: jalanan macet yang membuat Jem dan Ayahnya lelah. Mereka hendak pulang setelah sebelumnya Ayahnya menemani Jem berbelanja kebutuhan rumah bersama Jem, namun ditengah-tengah kemacetan, Ayah Jem ditelpon oleh kantor. “Kenapa Bapak?” tanya Jem kepada ayahnya.
“Jem, Bapak dipanggil ke kantor lagi. Urusan mendadak, tra papa5 to ko tunggu disana?” ujar Ayahnya. Jem mengangguk dan akhirnya motor yang dikendarai Ayahnya berbelok ke jalan-jalan yang lebih kecil agar tak terkena macet. Inilah satu-satunya jalan tercepat ke kantor.

Jem telah pergi ke kantor Ayahnya, gedung itu bertingkat tinggi walaupun tak sangat besar. Jem kini menunggu di area kantin kantor, dia sudah gelisah menunggu. Sa Bapak mana ni?, tanyanya dalam hati. Jem dari tadi hanya melihat orang yang keluar masuk lift/elevator Terbesit dipikirannya untuk iseng pergi ke seluruh lantai. Jem akhirnya memasuki elevator kosong, dengan cepat elevator itu membawanya naik ke lantai paling atas(rooftop6).
Dia telah mengirim SMS pada ayahnya tentang keberadaannya sekarang. Dia membuka pintu lalu keluar di rooftop datar itu. Langit redup, matahari dengan sinar yang terang tadinya berganti dengan bulan bercahaya abu-abu bersinarnya dan udara malam mengelilingi dirinya.

Jem melihat ke sekelilingnya, di rooftop ini sepi, hanya dia seorang sedangkan dibawahnya beda lagi. Klakson-klakson transportasi berbunyi-bunyi kecil dari tempat Jem berada, lampu-lampu transportasi, lampu-lampu, serta bangunan lain yang hampir menutupi gedung kantor dimana Ayahnya bekerja. Gemerlap Jakarta, menyala sepanjang malam. Berbeda dengan Nabire, yang kini nama itu membuatnya rindu.

Dia akhirnya memikirkan tentang pemilihan OSIS. Apa dia ingin mencoba? Tak ada salahnya bukan? Membantu Mahesa sekalian membuang pandangan sebagian warga sekolah terhadapnya.
Tak ia sadari, Ayahnya datang. Dia menepuk pundak anak laki-lakinya itu, satu-satunya hal yang ingin dia lindungi sekarang dan selamanya. Ayahnya duduk disampingnya.
“Ko pu sekolah bagaimana?” tanya Ayahnya.
“Baik, Bapak.”
“Ko pu teman-teman tu kabarnya bagaimana?”
“Mereka juga baik.”
“Terus, ko kenapa dari siang kayak ada yang berat begitu?”
“Ah tra papa..”
5 Tidak apa-apa
6 Atap
7 Punya

Ayahnya berusaha meyakinkannya agar berbicara kepada Jem. Jem akhirnya curhat kepada ayahnya. Dia menceritakan apa yang telah terjadi disekolah.

“Jem, ko tra kan tau apa yang terjadi. Tak ada yang tau! Ko tanya teman-temanmu, ko ni nanti kedepannya bagaimana?, mereka bisa jawab sembarang tapi trada yang betul-betul tau. Ko percaya saja ke ko punya diri, berikan yang terbaik saja. Ini kesempatan Jem, ko mungkin bisa pikir kalau ko bisa jadi anggota OSIS ka di SMA nanti, tapi trada yang tau hidup, kita bisa saja mati sebelum itu terjadi. Jadi sekarang saja!” Ujarnya menyemangati Jem.

Secercah cahaya bangkit dari diri Jem, kata-kata Ayahnya membuatnya semangat, jika bukan sekarang, kapan lagi? Siapapun dirinya, itu bukanlah masalah, dia tak akan tunduk pada pemikiran orang lain, tak tunduk karena siapa dirinya. Jem pikir dia memang harus mengambil kesempatan ini, dia mungkin saja bisa berkembang lagi karena menjadi wakil pemimpin.

Jem tersenyum, dia telah memutuskan. “Makasih Bapa! Bapa memang yang terbaik!” kata Jem berterimakasih kepada orang yang ia syukuri telah tinggal bersamanya selama ini. Mereka berpelukan, “Ki torang keluarga, apalagi sa ni ko bapa, sudah biasa saling membantu to.”
.

Keadaan pagi hari saat ini hujan, tapi hujan bukan selalu pertanda kesedihan kan? Hari ini, Jem datang paling awal, dia menunggu-nunggu ketiga temannya datang. Beberapa menit kemudian, ketiga temannya telah datang, cepat-cepat saja Jem memberitahu mereka.
“Mahesa, ko su dapat pasangan untuk dijadikan wakil?”
“Hmm… belum Jem,” ujarnya sedih.
“Ada orang ni yang mau.. tapi.. sa tra tau ko terima ka tidak.” sontak ucapan Jem membangkitkan semangat ketiga temannya.
“Siapa Jem!?” kata mereka bertiga secara bersamaan.
“Jemie, si anak Papua.”
Ketiganya terdiam dengan mulut terbuka lalu.. “JEEM!!!” seru ketiganya.

Ketiganya sebenarnya yakin bahwa Jem pasti ingin mencoba. Kini Mahesa tak perlu khawatir, sudah ada Jem. Mereka berdua percaya akan diri mereka sendiri.
“Makasih banyak Jem..” ucap Mahesa. “Yo, sa juga makasih ke ko, ke kam,” ucapan Jem berhenti karena guru yang telah masuk.
Ketika istirahat, mereka pergi mendaftarkan diri mereka sebagai ketua dan wakil OSIS. Ketua: Mahesa, Wakil: Jem. Jem baru mengetahui bahwa ada 3 pasangan, dan mereka adalah pasangan ke-3. Sedangkan pasangan ke-1 yang mereka nyatakan sebagai rival utama adalah Devon dan Fadel.

Kabar bahwa Mahesa dan Jem telah mencalonkan diri menjadi ketua dan wakil OSIS merebak ke seluruh warga sekolah. Kebanyakan dari mereka tak percaya bahwa Jem menawarkan diri menjadi wakil. Jem menutup telinganya, mencoba tak memedulikan kata-kata dari siswa-siswi sekolah yang tak setuju bahwa dirinya menjadi OSIS.

Tentu kabar ini sampai ke pasangan OSIS lainnya, termasuk pasangan Devon dan Fadel. Tiga hari berikutnya, kedua orang tersebut beserta rombongannya mendatangi Mahesa, Jem, Gabriel dan Aqilla yang tengah asik menikmati makanan mereka.

Keempatnya berhenti dari aktivitas mereka ketika Devon datang dengan wajah rupawan dan soknya itu. “Kabar kalian mendaftar itu benar?” tanyanya dengan sok. “Iya, Dev, memangnya kenapa? Kita tak bisa?” tanya Mahesa dengan sopan. “Cuman mau berbincang sedikit saja..”

“Kalau tidak ada yang penting, mending tak usah bicara Dev,” ucap Aqilla yang tahu apa yang akan Devon katakan. Devon melihat sekilas ke Aqilla lalu berbalik lagi ke arah Mahesa dan Jem, mengabaikannya. “Mahesa, satu kandidat sudah menyerah. Kalau kau sudah tahu ini, kau jangan jadi seperti mereka ya. Tunggu saja kekalahan mu.”

Jem teringat, hal yang tadi pagi ramai dibicarakan. Bahwa pasangan urutan ke-2 telah mengundurkan diri. Kini tinggal pasangan Devon dan Fadel dan mereka. Berdasarkan informasi dari Gabriel yang ia dapatkan dari teman kelas sebelahnya(lagi) bahwa alasan mereka mengundurkan diri adalah karena mereka tahu jumlah yang akan memilih Devon dan Fadel seminggu lagi pada hari pemilihan akan sangat banyak, mereka akan kalah jumlah.

“Mereka payah, tra da alasan buat menyerah. Belum tentu kam menang.” ujar Jem.
Kini Devon menatap Jem dengan amarah. “Mahesa, kukira kau itu pintar. Bodohnya kau pilih orang ini buat jadi wakilmu.., kamu kira kalian akan menang? Apa yang bisa dilakukan anak ini? Tak ada yang akan memilih Hes, tak ada!” ucap Devon dengan senyum liciknya, begitu yakin dia akan menang.

Mahesa berdiri, amarah mulai membakarnya. Jem meraih tangan Mahesa, “Sudah Hes, biarkan” ujarnya. Jem sedih, sakit hati diremehkan seperti itu, namun pertengkaran tak mendatangkan apa-apa selain masalah lain. Mahesa terhenti oleh Jem, namun tetap tak duduk kembali, dia mengucapkan dengan tegas pesan untuk Devon.

“Apa yang bisa dilakukan Jem!? Anak sederhana dari Papua yang kau remehkan!? Dia bisa lakukan apapun, Dev. Kita berdua bisa, kita bisa jadi apapun, bukan hanya kau. Dunia ini bukan milikmu, Dev. Lebih baik kau jaga kata-katamu, kau sudah besar, sudah tau yang mana yang baik dan yang benar.” ujar Mahesa dengan marah.

“Tak usah menasehatiku, Hes, aku tahu aku akan menang. Cara apapun itu akan kulakukan. Bersiap saja dengan kekalahanmu. ”
“Devon, sebenarnya tujuan kamu untuk daftar jadi ketua itu apa!?” tanya Aqilla.
Devon menatap Aqilla. “Buat ketenaran? Kau ingin berkuasa di sekolah ini? Kau tahu kau tak bisa kan? Menjadi ketua OSIS disini bukan berarti segala kekuasaan akan berada ditanganmu.”

Devon tahu apa yang Aqilla katakan benar, namun itu bukanlah tujuan utama. “Katakan Devon, apa tujuan kamu?”
“Ya untuk menjadikan sekolah ini lebih baik lagi lah!” ujar Devon,asal. Aqilla tak benar-benar percaya, Devon tak pernah peduli terhadap orang lain, dia egois dan sekolah ini akan hadir tanpa program atau acara penuh kreativitas, hadir tanpa pelaksanaan yang sempurna dan lancar. Devon bahkan tak pintar dikelasnya. Dia hanya kaya raya dan tampan, ditambah nakal, itu saja.
Setelah mengatakan itu, Devon melangkah pergi dari keempat teman itu. “Dasar orang aneh!” gumam Aqilla.

Perkataan Devon tadi sedikit membuat Jem kembali bimbang. Apakah dia bisa? Kesempatan apa ini? Menang atau kalah? Dia ingin bertanya ke Ayahnya, tapi ia tidak ada disini. Yang perlu dia lakukan adalah meyakini teman-temannya bahwa semua akan baik-baik saja.
“Jem,” Mahesa memegang pundaknya. “Jangan pikirkan, Devon selalu yakin akan suatu hal, tapi suatu hal itu jarang sekali benar. Tanya saja Aqilla.”

“Betul tu Jem, tak papa. Keyakinan Devon cuman terletak pada barang saja, soalnya dia punya uang. Cukup barang saja.” ujar Aqilla.
“Iya itu kan Devon, kalau aku yakinnya tidak pada barang. Aku yakinnya ke suatu hal yang sering benar kok, aku sekarang yakin kalau kalian pasti bisa, Mahesa akan jadi ketua OSIS yang ia dambakan dan Jem bisa membuktikan dia bukan anak biasa dari Papua. Dia akan
membuktikan kalau dirinya adalah anak spesial Papua, siapapun yang bekerja keras adalah anak spesial.” ucap Gabriel.
Senyum terlihat pada wajah keempatnya. “Terima kasih Gabriel!” ujar Jem. “Makasih Riel, Keyakinanmu pasti betul, haha, aku percaya!” ucap Mahesa.

Hari-hari berlalu dengan kesibukan. Poster-poster iklan calon-calon pasangan ketua dan wakil OSIS tertempel di mading. Jem tak pernah menyangka bahwa persaingan akan seserius ini. Jem, Mahesa, Gabriel dan Aqilla kerap melihat senyuman menyebalkan Devon ketika berpapasan dengannya seakan dia akan menang dan mereka dipusingkan dengan Gabriel yang membawa rumor-rumor aneh dari teman kelas sebelahnya hingga Aqilla harus menutup mulut Gabriel dengan kertas. Tak ada yang benar-benar bisa dipercaya dari rumor, jadi Aqilla dan Gabriel mencoba membantu dengan mencari tahu tentang pasangan urut nomor 1.

Sedangkan Mahesa dan Jem terus bekerja keras melakukan persaingan sehat, visi misi mereka sudah mereka rasa oke dan mereka hanya perlu meyakinkan seluruh siswa-siswi sekolah Nabastala serta kepercayaan guru-guru agar memilih dan percaya kepada mereka. Serta satu hari, para pasangan dipersilahkan untuk berpidato tentang hal ini. Mahesa dibuat terkejut tentang cara berpidato Jem yang berani dan suaranya yang tegas dan meyakinkan.

“Jem, makasih ya, kamu sudah lakukan yang terbaik. Kudengar-dengar, banyak yang memuji cara berpidatomu tadi!” ujar Mahesa pada akhirnya.
Sehari sebelum hari pemilihan, Gabriel membawa kabar kepada Jem dan Mahesa. Saat itu adalah waktu pulang, Jem, Mahesa dan Aqilla yang hendak berpisah dihentikan oleh teriakan Gabriel dari jauh. Gabriel mendekati mereka dan akhirnya sampai, napasnya tersengal-sengal. “Kenapa Riel?” tanya Aqilla

“Ko kenapa?” tanya Jem juga bersamaan.
“Nihh… Dev-vonh!” ujarnya. “Kamu darimana sih Riel? Capek sekali larinya.”
Karena kecapekan dan matahari yang terlalu terik baginya, Gabriel mengajak temannya pergi ke sebuah gazebo dipinggir danau.
“Ada apa Gabriel? Ko dari mana lagi? Tadi katanya su8 pulang duluan..” kata Jem. Setelah Gabriel merasa lega, dia akhinya berbicara.
“Tadi aku ke toilet dulu, terus ya, setelah aku sudah selesai dengan urusanku didalam bilik dan hendak ingin keluar, aku dengar suara Devon!” ujarnya.
“Devon?”
8 Sudah

“Iya Devon Arumsyah! Nah, aku ngintip ya, dia itu sedang menyuap beberapa anak kelas 8 lainnya dengan lima temannya yang selalu siap buatnya. Kudengar dari percakapan ya, anak kelas 8 itu tak mau namun Devon memaksa, dia keluarkan uang Rp 50,000 dan tawarin uangnya. Ya maulah anak-anak itu, mereka janji buat pilih Devon besok!” Sontak perkataan Gabriel membuat ketiga temannya kaget.
Pantasan saja Devon merasa aman-aman saja dan merasa akan menang, toh, inilah alasannya. “Jadi betul rumormu itu!?” tanya Aqilla. “Hah? Aku liat sendiri Aqilla!! Ini bukan lagi rumor!” sangkal Gabriel. Memang rumor Devon menyogok banyak siswa lain adalah salah satu rumor yang pernah Gabriel beritahukan kepada ketiga temannya itu namun mereka tak percaya karena Gabriel memiliki terlalu banyak rumor dari teman kelas sebelahnya, terlalu banyak jangkauan.

Mahesa mengepalkan tangannya, keningnya berkerut, marah. “Dasar Devon, bisa-bisanya dia berbuat seperti itu, pengecut!” ujarnya.
Jem tak habis pikir, sebenarnya kenapa Devon ingin sekali menang? “Mahesa, tenang saja. Su ada Gabriel yang jadi saksi to, besok kita lapor saja ke guru-guru.” Ujar Jem menepuk bahu Mahesa.

Keesokan harinya, Jem dan keempat sahabatnya itu pergi melapor ke ruang guru, untungnya salah satu siswa juga ikut bersama mereka sebagai saksi selain Gabriel. Siswa itu adalah korban suap dari Devon dan dia juga berkata bahwa teman-temannya yang lain juga menjadi korban. Lantas, guru-guru, mencari informasi terkait hal ini. Banyak siswa yang mengatakan bahwa Devon memang telah berbuat curang.

Rapat dilaksanakan oleh guru-guru, akhirnya keputusan keluar bahwa pasangan Devon akan dihukum. Jem dan keempat kawannya bertemu Devon. Devon tampak dengan muka kesalnya, “Devon? Kamu kenapa seperti ini sih?” tanya Aqilla. Namun Devon hanya terdiam, “Aku tak percaya kamu sangat ingin menjadi ketua OSIS sampai berbuat seperti itu..” Ucapan Aqilla disetujui dengan Jem, bukankah ini terlalu berlebihan?

Cukup sulit untuk Devon membuka suara, “Devon, kita cuman mu mengerti saja.. kalau ko tidak mau ya tidak usah. Cuman kita ni tidak suka benci kita pu lawan, kita maksud ni buat bantu ko.. ya, kita dengar-dengar sedikit kalo ko ada masalah” ujar Jem. Dia yakin dengan perkataannya. Aqilla sendiri mengaku bahwa Devon sudah terlalu nakal dan berbeda sejak orang tuanya bercerai, bukankah hal itu bisa saja?

Devon akhirnya membuka suara, walaupun nakal, dia juga bisa berpikir. Devon sendiri mengaku bahwa tekanan dari ayahnya untuk meraih yang terbaik(paling terbaik) membuatnya melakukan hal ini, ini memang terjadi setelah perceraian kedua orang tuanya. Jem dan kawan-kawannya bersedia membantu dan menerima Devon sebagai teman, membuat Devon cukup terharu. “Makasih ya..” ucapnya dengan cukup canggung, tak ada yang pernah mengerti dirinya.

Devon menerima sanksinya, membuat Jem lega kembali dan dia senang bahwa akhirnya Mahesa dan dia diangkat menjadi ketua dan wakil OSIS dengan pemilihan yang jujur.

Kesempatan dan pengalamannya di SMP membuatnya terdorong lebih berani lagi menjadi pemimpin. Disaat SMA, Jem menjadi murid yang aktif dan pintar, dia adalah ketua OSIS dan ketua-ketua dari beberapa organisasi dikota tempatnya bersekolah. Sekarang, Jem berada di jenjang kuliah hukum, kini duduk dengan ketiga sahabat SMPnya disebuah kafe sepulang kuliah. “Jadi Jem, mau jadi apa ni? Tetap ya?” tanya Aqilla. Jem tersenyum, “Iya, Aqilla, tetap.”

“Kalian cerita apa sih?” tanya Mahesa yang baru saja datang dengan pesanan makannya, “Cita-cita Jem, tetap mau jadi pemimpin di Nabire katanya!” ujar Aqilla. Mereka tersenyum bahagia, mengaminkan hal itu terjadi.
Lantas tahun-tahun berikutnya datang dengan segala pengalaman, dengan kerja keras, Jem kini adalah bupati di Nabire, tempat lahirnya yang tak akan pernah ia lupakan.
TAMAT

adminsmpn1

Tulisan Lainnya

0 Komentar

KELUAR